Perantauan 4: Gue Tinggal di Tangerang Apa Jakarta, Sih?


“UI itu di mana, sih?”

“Di Jakarta!”

Bagi kalian yang menganggap jawaban dari pertanyaan itu nggak ada yang salah, mungkin kalian belum pernah ke UI secara langsung. Atau mungkin pernah ke UI tapi benar-benar nggak tahu kalian menginjak wilayah apa. Well, guys, sebenarnya UI itu di Depok. Dan Depok masih masuk wilayah Provinsi Jawa Barat, bukan DKI Jakarta.

Maaf kalau tiba-tiba ngomongin geografi. Tapi emang wilayah Jabodetabek itu saking deketnya (baik secara wilayah maupun kultur) sering banget disalahartikan sebagai Jakarta. Hal itu terkadang membuat aku bingung sendiri, sebenarnya aku lagi di mana, sih?

Nah, hal ini aku alami sendiri di kota perantauanku yang ini. Secara geografis, aku tinggal di Bintaro. Bintaro itu masuk Jakarta apa Jawa Barat? Neither. Bintaro itu Tangerang Selatan. Tangsel masuk Provinsi Banten. Jadi, kesimpulannya aku berdomisili di Provinsi Banten. Tapi, jika siapapun di kampung halaman bertanya aku kuliah di mana, jawaban simple-nya adalah: Jakarta.

Oke.Ga ada yang peduli juga sama masalah geografi ya?



Anyway, selama daerah yang aku tempati mudah diakses dengan commuter line (sering disebut juga KRL), aku nggak begitu ngerasain aroma Banten di keseharianku. Malah lebih condong kejakarta-jakartaan. Contohnya, anak-anak tetangga seringnya ngomong “gue-elo” daripada “aing-maneh”. Sepengetahuanku, Provinsi Banten itu karena dulunya adalah bagian dari Provinsi Jabar, maka kultur asli daerah ini dalam bayanganku adalah kultur Sunda. Ternyata dugaanku nggak sepenuhnya salah, sih. Emang kultur Jakarta lebih dominan. Tapi karena banyak pendatang, aku malah lebih sering dengar orang ngomong bahasa Jawa di sini. Terutama mas-mbak warteg. Sedangkan omongan Sunda seringnya aku temui di supir angkot.

Nggak kayak tiga kota sebelumnya—Martapura, Bandung, Surabaya—yang bahasa daerah utamanya bisa langsung teridentifikasi. Di sini emang lebih multikultural, apalagi di kampus yang anak-anaknya datang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Sabang sampai Merauke ada. Jadi, bahasa baru yang aku pelajari pun bermacam-macam. Begitupula logat. Jadi, bahasa yang aku gunakan di sini tetap Bahasa Indonesia, dengan kolaborasi beberapa logat sepertinya.

We are soooooo plural!

Untuk tempat nongkrong, aku nggak bakalan fokus ke daerah Bintaro saja. Soalnya, dari Bintaro bisa keluyuran sampai ke mana-mana akibat mudahnya akses transportasi Jabodetabek. Tapi, kalau mau cari daerah Bintaro, mal-mal seperti Bintaro Plaza, Bintaro Exchange, dan Lotte Mart sudah menjadi tongkrongan umum anak kampus. Tempat perbelanjaan lain adalah Harmoni. Kalau mau wisata kampus, bisa kunjungi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Sektor 5 atau Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) di Kompleks Meteorologi, Pondok Betung. Kedua kampus itu termasuk Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Ada pula Taman Menteng bagi yang mau sekadar jalan santai atau pacaran (wkwkwk). Kalau mau cari toko alat tulis lengkap, bisa kunjungi Intermedia yang berada dekat Bintaro Plaza. Aku sering nongkrong di sana juga hehe. Untuk kuliner, mungkin yang membedakan dengan kota-kota sebelumnya adalah kehadiran Ketoprak. Selebihnya sama aja. Masih lebih lengkap kuliner di Bandung dan masih lebih murah kuliner di Surabaya. Mungkin karena kehadiranku di tempat ini masih baru satu tahun dan aku juga masih belum mengeksplorasi banyak tempat, jadi keunikan makanan daerah ini masih belum aku temukan.

Yang bikin betah di sini, karena tempatnya yang masuk daerah Jabodetabek, maka banyak banget event yang bisa dihadiri. Meski rawan hedon juga sih. Nah, untuk bisa datang ke event tersebut, yang pastinya perlu transportasi umum yang bersahabat, terutama buat kamu para pendatang.  Ada beberapa transportasi umum yang biasa digunakan di kota ini, dan khususnya dalam menjelajahi Jabodetabek:

Angkot

Jika tempat yang dituju dapat ditelusuri dengan angkot, bolehlah naik ini. Meskipun harga angkot di Jakarta masih lebih mahal di Bandung. Mang angkot biasa pasang tarif paling murah 3000 rupiah. Bisa, sih, curi-curi kasih kurang dari itu dengan ngasih uang receh trus langsung cabut. Hahahahahush. Jangan ditiru. Tapi, ya, kalo emang dongkol kadang suka kayak gini sih. Kekurangan naik angkot:

  • Suka ngetem. Ini bahaya banget, terutama kalo udah mau deket jam malam hehe. Buat yang terburu-buru juga nggak direkomendasikan sih. 
  • Rawan terjebak macet. Tahu aja, kan, kondisi jalan di Jakarta kayak gimana? 
  • Kadang-kadang tarifnya suka dinaikin sesuka si sopir. Hati-hati bagi yang kere. 

Kelebihannya ada di aksesnya yang lebih mudah. Cukup nongkrong cantik di tepi jalan, langsung ada angkot yang menghampiri.

Transjakarta

Nah, kalau yang ini jujur aku belum pernah naik sama sekali selama di Bintaro. Akses dari tempatku juga cukup jauh. Tapi setahuku transportasi ini juga menjangkau Jabodetabek. CMIIW. Yang punya pengalaman naik TJ bisa dibagi di kolom komentar.

Metromini

Nggak mau komentar banyak, deh. Kalau dari pandanganku, kinda uninviting, serem (mungkin karena cerita dari orang-orang juga sih huhu), juga uncomfortable. Tapi dengan naik ini bisa dapat hiburan juga sih, terutama kalo macet. Karena pengamen suka keluar masuk. Di sini kamu juga bisa shopping karena pedagang kaki lima juga suka keluar masuk. Ah gitulah. Kalo ada yang punya pendapat positif soal transportasi ini bisa kasih komentar.

Communter Line

Ini, nih, transportasi favoritku. Soalnya kosan lumayan dekat dengan stasiun. Dari sini bisa ke mana-mana. Keberadaan KRL juga merupakan pelengkap jurus anti-nyasar-ku di Jakarta. Jadi gini, pertama, cari tempat yang ingin dituju. Kedua, cari stasiun terdekat dari tempat itu. Simple! Tarifnya juga tetap. Nggak perlu takut dinaikin sama si petugas. Bahkan waktu tujuhbelasan kemaren naik KRL gratis, broh! Transportasi yang lumayan nyaman juga menurutku, terutama kalau dapat tempat duduk. Eit, tapi perlu diperhatikan juga, ya, mengenai jam penuh KRL. Terutama di hari kerja pada pagi dan sore. Kalau penuh itu penuhnya penuuuuuuuuuh banget sampai kamu cuman bisa pasrah dapat tempat dengan berjinjit sambil nemplok di pintu saking penuhnya. Pernah ngalamin soalnya hehehe.


Berhubung perjalananku di Bintaro masih ada, maka ada kemungkinan juga tulisan ini mengalami pengembangan. Well, kita tunggu aja.

Dan kota perantauan ini aku yakini bukanlah kota terakhir. Setelah ini, masih ada tempat perantauan lain yang menanti. Tunggu tanggal mainnya!

Perantauan 4: Gue Tinggal di Tangerang Apa Jakarta, Sih? Perantauan 4: Gue Tinggal di Tangerang Apa Jakarta, Sih? Reviewed by Audi on Oktober 05, 2015 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Thanks for coming! ^^
Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu untuk menghindari komentar spam.

Diberdayakan oleh Blogger.