Akhir-akhir ini dunia maya disibukkan dengan debat soal agama. Mulai dari isu penistaan sampai merembet ke pahlawan wanita di lembaran rupiah terbaru yang diprotes karena nggak pakai jilbab. Sempat adem gara-gara Om Telolet Om. Tapi pas Natal balik lagi ke berita soal agama. Capek sebenarnya liat timeline adu argumen mulu dan nggak ada yang mau ngalah. Tapi apalah dayaku yang nggak bisa hidup tanpa internet.
Untung diademin sama
Cha Eunwoo...
Daripada liat orang debat di internet, mending aku kasih
cerita yang adem aja, deh. Hehe. Semoga
emang bikin adem, ya. Ini adalah pengalaman pribadi, based on true story, mengenai bagaimana keadaanku melewatkan dua
hari raya besar di Bitung, Sulawesi Utara. FYI, sebagian besar penduduk di
Sulut ini beragama Kristen jadi bisa dibilang aku menjadi minoritas secara
agama.
Hari raya Idul Fitri dan Natal aku lewatkan di Bitung. Kalau
mau dibilang pengalaman ini istimewa atau nggak, ya istimewa-istimewa nggak
sih. Soalnya pas yang lain libur aku tetep masuk dinas HUAHAHAHA. *nasib
pegawai shift*
Waktu Idul Fitri, ketika teman-teman bisa mudik ke kampung
halaman dan silaturahmi dengan keluarga, akunya nggak. Bahkan, malam lebaran
aku lewatkan di kantor bersama temanku, alias kebagian dinas malam. Jadi, hari
pertama lebaran diisi dengan rasa kantuk karena habis dinas malam.
Kalau suasana malam lebaran sendiri sepi banget. Pokoknya
nggak serame kalau aku di kampung halaman. Petasan nggak ada blas. Kalau ini
aku seneng sih, soalnya lebih tenang haha. Takbiran ada, kok. Bahkan angkot
yang biasa nyetel musik disko juga nyetel takbiran. Tapi diremix...
Untuk silaturahmi lebaran sendiri, kami diajak pegawai
senior kantor yang muslim untuk bertamu ke rumah saudaranya tepat setelah
selesai dinas malam. Lumayan bisa nyomot kue dan makan. Tak hanya bertamu, kami
juga nerima tamu, kok, walaupun bener-bener zero
preparation. Teman yang PKL di Manado sampai datang buat bersilaturahmi dan
bawain soda satu kotak. Hehehe.
Ada beberapa hal unik waktu lebaran di Bitung. Dan lumayan bikin
culture shock juga, sih. Beberapa di antaranya:
- Di sini minuman bersoda dan kue mentega itu adalah hidangan wajib pas hari raya. Makanya kalau dekat hari raya, kedua makanan itu pasti jadi primadona di warung-warung. Bahkan ada yang buka warung dadakan di pinggir jalan.
- Acara silaturahmi ternyata nggak cuman diadakan waktu hari H lebaran aja. Seminggu setelah lebaran juga biasanya masih ada yang ngadain open house. Biasanya ini diadakan setelah melakukan puasa 6 di bulan Syawal. Jadi istilahnya kayak ngerayain Syawal gitu. CMIIW. Kemaren ada Pak Satpam ngadain open house juga pas hari itu. Dan itu pas aku lagi puasa ganti. Oke.
- Trus biasanya orang sini kalau nerima tamu waktu lebaran itu pasti nyiapin sofa atau tempat duduk. Apalah aku yang biasa lesehan gini. Jadi pas open house kecil-kecilan di rumah sampai dikomen. Duh, belum ngebaur berarti aku ini mah T.T
- Suasana pas lebaran sepi banget. Karena penjual makan banyak yang Muslim, warung makan banyak yang tutup. Banyak yang mudik. Biasanya ke Gorontalo, Makassar, dan Jawa. *kalau ini mah di mana-mana ada kali ya hahaha*
Alhamdulillah di sini lebaran aman-aman aja. Kami masih bisa
sholat ied dengan tenang. Bupati dan wakil bupati yang nonmuslim bahkan
menyempatkan diri buat hadir waktu sholat ied, walaupun cuman duduk aja.
Sayangnya, aku nggak sempat foto-foto narsis waktu hari H
lebaran kemaren. Nggak mood gara-gara muka udah kucel banget abis dinas malam
haha.
Itu sekilas mengenai lebaran di Bitung. Bagaimana dengan
Natal?
Tentunya ada vibe yang
berbeda ketika melewatkan Natal di tempat yang mayoritas orangnya merayakan
Natal. Kalau tanggal 25 Desember biasanya aku hanya merasakan suasana Natal di
TV aja, dengan adanya iklan-iklan yang mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru
ataupun adanya film spesial Natal. Kalau di sini, aku seperti terjun langsung dan
ikut ngebaur dengan suasana Natalnya. No
offense.
Suasana Natal itu udah terasa sejak awal November. Beberapa
tempat perbelanjaan udah menyediakan pernak-pernik hiasan Natal serta minuman
bersoda. Bahkan beberapa tempat umum udah berhias. Seperti hotel Gran Central Manado
yang aku datangi waktu Sekolah Lapang Iklim tanggal 22 November kemaren.
Tapi yang agak bikin aku complain
itu petasannya. Jauh-jauh hari sebelum Natal dan Tahun Baru, petasan sudah
menjamur banget di pasaran. Dan tentunya udah bisa dimainkan. Kadang suka
tiba-tiba bikin kaget dengar suaranya. Tapi, ya, gimana lagi. Kalau di sini
memang mungkin sudah tradisinya. Lagian udah diingetin, kok, kalau Natal dan
Tahun Baru bakalan sering dengar petasan. Jadi siap-siap aja.
Makin dekat tanggal Natal, suasananya makin berasa. Aku
bahkan pernah bilang kalau kota ini jadi ibarat pohon Natal, berhias banget. Soalnya
hampir di sepanjang jalan ada hiasan lampu kerlap-kerlip. Yang dihiasin itu mulai
dari rumah, tempat ibadah, kantor, tembok, sampai pohon-pohon. Sayang banget
kalau nggak difoto. Hehehe. Angkot juga tidak mau ketinggalan. Kalau pas
lebaran muternya lagu takbiran, pas dekat Natal yang diputar adalah lagu-lagu
Natal.
Tradisinya hampir mirip lebaran. Cuman nuansa party-nya lebih keliatan. Di sini juga
ada acara silaturahmi. Kebetulan tetangga ada yang merayakan Natal juga. Jadi
kami juga ikutan bersilaturahmi ke orang yang merayakan Natal. Baru bisa
silaturahmi sore harinya, sih. Siangnya dihabiskan buat tidur. Soalnya malemnya
dinas. HAHAHA.
Kurang greget apa coba
dua hari raya dilewatkan dengan dinas malam.
Secara keseluruhan, dua hari raya yang aku lewatkan di
tempat baru ini nggak istimewa banget. Udah mah nggak ketemu keluarga, trus
juga dapat shift malam. Jadi mau mengistimewakan kayak gimana coba saking
terlalu istimewanya? :))
Tapi yang terpenting adalah suasana aman dan damai yang
terasa. Kalau di sosmed biasa nemu orang debat, setidaknya di dunia nyata aku
masih banyak ngeliat orang-orang yang beda agama saling berinteraksi dengan baik.
Kalau kita lagi lebaran, mereka yang silaturahmi. Dan kalau mereka Natal,
gantian kita yang berkunjung. Gitu aja, sih.
Harapannya, semoga ketenangan waktu hari raya di sini bisa
menular ke sosmed.
Melewatkan Dua Hari Raya Besar di Bitung
Reviewed by Audi
on
Desember 29, 2016
Rating:

Aku belum pernah mengalami itu Audia, karena sampai saat ini selalu berada dalam lingkungan mayoritas muslim. Senang ya, ketika menjadi minoritas kita tetap dihargai dan merasa aman. Harusnya kita juga gitu memmbuat teman yang minoritas juga merasa aman an nyaman ketika bersama kita.
BalasHapusSetuju bgt mbak, kadang ngerasa guilty juga karena di sini diperlakukan baik sedangkan di sana ada yg sering kena diskriminasi :(
HapusTulisannya beneran buat adem mba :)
BalasHapusSetuju banget, aku percaya masih banyak orang-orang di dunia nyata kita yang saling menghargai seperti cerita di atas.
Btw salam kenal ya. Sekalian mampir yuk www.indianajos.com
Terima kasih mbaak ^^
Hapussemoga toleransi tetap terjaga ya,,,aadem bacanya
BalasHapusaamiin...
HapusSenangnya hidup kayak gini. Ini pengalaman yang berharga sekalinya, Audia. Mudah-mudahan lain kali bisa merayakan lebaran bareng keluarga di Bitung sana ya. :-)
BalasHapusiya mbak, berharga banget hehe :)
Hapus