Sebelumnya aku ngga nyangka banget kalau ternyata My Extraordinary Ramadan bakalan ada Part 2-nya. Di postingan sebelumnya, aku cuman sekadar pengen curhat kalo aku menjalani bulan suci Ramadan saat itu dalam kondisi yang jauh dari orangtua dan ngga bisa mudik karena harus kerja. Ternyata hal ini terjadi lagi di bulan Ramadan tahun ini. Bedanya, penyebab kejadian ini adalah virus corona.
Baca juga: Yang Aku Pikirkan Selama Self-Quarantine.
Padahal kayaknya bentaaaar banget, ngga nyampe sebulan lagi, bakalan wisuda. Teman-teman udah pada survey penginapan, MUA, sama nyiapin macem-macem buat wisuda. Aku sendiri mempersiapkan wisuda dengan menginclongkan sepatu pantofel. Belum sempat survey macem-macem, tiba-tiba dapat jarkom kalau taruna-taruni dipulangkan dulu ke daerah untuk menjauhi Corona hingga waktu yang tidak ditentukan. Otomatis ketunda dong wisudanya.
Apa yang aku lakukan?
Jujur banyak banget yang aku khawatirkan dari penyebaran virus ini. Pertama, belum ada vaksin. Kedua, biarpun sembuh bakalan ada after effect-nya seperti fungsi paru-paru yang berkurang (bahkan ada artikel yang bilang kalau virus ini juga nyerang ginjal. Ya ampun). Ketiga, penyebarannya cepat. Takutnya kalau aku balik ke daerah, nggak bergejala, tiba-tiba angka kasus positif melonjak aja di daerahku. Kan aku nanti yang merasa bersalah dan dimintai pertanggungjawaban kenapa gitu menyebarkan mudharat (trus ternyata di provinsi asalku kasusnya melonjak gara-gara dari klaster Gowa hzzzzzzz kzl beud). Akhirnya dengan segala pertimbangan tadi, aku pun memutuskan untuk tinggal di kosan aja di Tangerang Selatan sampai waktu yang tidak ditentukan. Untung aja ortu mau mengerti keputusan anaknya.
Dan ternyata acara mengurung diri ini kebawa hingga bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Kejadian ini hampir mirip dengan yang aku tuliskan pada My Extraordinary Ramadhan sebelumnya, yaitu menjalani bulan Ramadhan + Idul Fitri jauh dari rumah. Bedanya adalah kalau dulu itu masih bisa keliaran, bebas nyari takjil, trus ada kerjaan bolak-balik rumah dinas dan kantor, sekarang bulan Ramadhan mengurung diri di rumah dan menjalankan interaksi yang minimal. Ngga ada taraweh berjamaah. Ngga ada sholat ied berjamaah juga. Jadi bener-bener sepi.
Eh tapi katanya jelang Lebaran malah tambah rame di luar. HZHZHZHHZ.
Berbeda dengan awal-awal disuruh karantina diri, sekarang aku sudah mulai terbiasa. Nggak begitu mikirin jalan-jalan atau nongkrong pas weekend lagi. Mungkin kebantu sama Diklat Online ya. Soalnya karena diklat ini, aku jadi lebih sering mikirin tugas daripada mikirin nasib dunia. Ini mungkin salah satu hal yang paling aku syukuri selama pandemi. Cuman sekarang diklatnya sudah mau selesai dan aku harus menyiapkan rutinitas karantina yang baru agar aku tetap merasa "hidup".
Jadi, bagaimana rasanya Ramadhan tahun ini yang begitu sepi dan jauh dari keluarga? Yap, biasa aja. Ngga kerasa. Karena tiap hari itu kayak bangun tidur, beraktivitas sendiri, lalu tidur lagi. Ngga ada bedanya sama hari sebelum dan sesudah puasa selama karantina. Sekali-kali mungkin aku bersedih ketika lagi masak mie atau milih menu makan di Gofood, karena kasihan sama diri sendiri lebih tepatnya wkwk. But I'm trying to cheer myself up. Salah satunya dengan menulis tulisan ini.
Terima kasih pada teman-teman yang sering nanyain kabarku. Berkat pandemi ini, aku jadi merasakan kekuatan di balik basa-basi. Yah asalkan basa-basinya ngga ngomongin fisik atau nanyain nikah aja sih.
Selamat Hari Raya Idul Fitri!
My Extraordinary Ramadan 2: Ramadan di tengah Pandemi
Reviewed by Audi
on
Mei 23, 2020
Rating:
Tidak ada komentar:
Thanks for coming! ^^
Komentar yang masuk akan dimoderasi terlebih dahulu untuk menghindari komentar spam.